PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM

BAB II
TEORITIS
A. Pengertian dan Macam-Macam Kepemimpinan
بسم الله الرحمن الرحيم
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاًً(النساء:59)
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kesudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(Q.S An-Nisaa: 59)
Rasulullah Saw, adalah tauladan bagi umat dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam hal kepemimpinan ini beliau adalah sosok yang mencontohkan kepemimpinan paripurna dimana kepentingan umat adalah prioritas bagi beliau. Maka sangatlah tepat apabila kita sangat mengidealkan visi dan model kepemimpinan Muhammad SAW (sang revolusioner yang legendaries, manusia mulia kekasih Allah SWT).
Eggi (2003:12) yang merupakan seorang eksponen generasi muda, mengatakan secara tajam bahwa dalam sejarah umat manusia belum satupun dapat terwujud sosok pemimpin sehebat kepemimpinan Rasulullah SAW, iapun melontarkan sejumlah kriteria persyaratan yang harus ada dalam sosok seorang pemimpin, dari apa yang berusaha ia selami dari keteladanan kepemimpinan Rasulullah Saw, yaitu:
1. Pemimpin harus dekat dengan tuhan dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Tuhan yang baik dan luhur.
2. Pemimpin haruslah seorang yang ikhlas (nothing to loose), tanpa mengharap pamrih kecuali untuk beribadah pada Tuhan melalui pengabdiannya kepada rakyat.
3. Pemimpin harus sosok yang jujur dan adil. Dan khalifah umar bin khaththab merupakan contoh pemimpin yang mampu membedakan mana kpentingan pribadi dan mana kepentingan Negara.
4. Pemimpin harus mencintai rakyat dan mendahulukan kepentingannya diatas kepentingan diri keluarga dan golongannya.
Nampaknya, empat kriteri tersebut masih sangat jauh dari harapan apabila kita melihat kembali pada realitas yang menindas saat ini.kepemimpinan dijadikan alat untuk mengeksploitasi rakyat. Padahal Islam memandang kepemimpinan sebagai sebuah beban (taklif) dan amanah, sehingga orang yang diberikan amanah kepemimpinan, dia harus mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Karena pemimpin adalah khadimul ummah (pelayan masyarakat).
Oleh karena itu, (Hilal: 2005) Sayid al-Wakil mengemukakan pendapatnya, bahwa: seorang pemimpin harus memiliki sekurang-kurangnya lima syarat, yaitu:
1. Muslim
2. Berilmu
3. Adil
4. Memiliki kemampuan memimpin (skill kepemimpinan)
5. Sehat jasmani sehingga dapat menjalankan tugas-tugasnya.
Dalam kitabnya “Al-Qiyadah wal Jundiyah fil Islam”, Sayid al-Wakil menjelaskan bahwa al-qiyadah dalam konteks Al-Qur`an, Sunnah, dan Tarikh Islam memiliki empat pengertian.
Pertama, ro’i. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan,
“Setiap kalian adalah pemimpin (ro’i) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin (ro’i) dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang suami (rojul) adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang pembantu (khadim) adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabaannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Kepemimpinan dalam terminologi ro’i mencakup kepemimpinan negara, masyarakat, rumah-tangga, kepemimpinan moral; yang mencakup juga kepemimpinan laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, tak seorang pun di dunia ini lepas dari tanggung jawab kepemimpinan, minimal terhadap dirinya sendiri. Setiap orang mengemban amanah, dan setiap amanah pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.
Ro’i berasal dari kata ro’a-yar’a-ro’yan-ri’ayatan (Munawwir, 1997:510). Artinya kepemimpinan dalam terminologi ro’i menyiratkan pentingnya makna ri’ayah yang artinya menggembala, memelihara, mengarahkan, dan memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya (ra’iyah).
Kedua, imam. Artinya pemimpin yang selalu berada di depan. Kata imam seakar dengan kata amam (di depan). Sehingga dalam terminologi ini, imam adalah pemimpin yang berfungsi sebagai teladan dan sosok panutan yang membimbing orang-orang yang dipimpinnya.
Hilal (2005), Ibnul Qoyim telah mengemukakan dalam kajian kepemimpinan, bahwa: kata imam juga berarti ma`mum. Dengan pengertisan ini, maka seorang pemimpin selain siap untuk menjadi imam, ia juga harus siap untuk menjadi ma`mum. Imam, selain bertugas mengarahkan ma’mum, pada saat yang sama ia pun harus siap dikritik dan diingatkan oleh ma’mum. Dalam shalat berjamaah, ketika imam melakukan kesalahan, ma`mum wajib mengingatkannya dengan ucapan subhanallah. Dan imam harus siap mendengarkan peringatan ma`mum.
Ketiga, khalifah. Secara terminologi artinya pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW.
Hilal (2005), Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: kepemimpinan dalam terminologi khalifah juga berarti menyiapkan kepemimpinan berikutnya sesuai dengan aturan syari’ah demi tercapainya kemashlahat duniawi dan ukhrowi.
Kata khalifah seakar dengan kata khalfun (belakang) (Munawwir, 1997:361). Ini artinya, seorang pemimpin bukan saja harus mempersiapkan generasi pemimpin penggantinya, ia juga harus siap melanjutkan kepemimpinan sebelumnya.
Keempat, amir. Artinya pemerintah. Dalam hadits riwayat Bukhari, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad, kita wajib menaati seorang pemimpin (amir) apapun warna kulitnya, bentuk rupanya, kaya atau miskin, selama pemimpin itu berada dalam bimbingan wahyu Allah Swt. Kata amir juga berarti ma`mur (yang diperintah). Ini artinya, seorang pemimpin selain menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, ia juga harus siap diperintah oleh rakyatnya dalam hal yang mengandung kemaslahatan untuk semua.
Keempat tipe kepemimpinan diatas esensinya terlihat jelas dalam pola kepemimpinan Rasulullah SAW. dan Khulafaur Rasyidin yang selalu mengedepankan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Hakikat kepemimpinan dalam Islam adalah mengemban amanah rakyat untuk mencapai keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.
Ketaatan kepada Pemimpin adalah satu pilar pemerintahan dalam Islam. Umar bin Khaththab berkata, “Tidak ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa amir (pemimpin), dan tidak ada arti amir tanpa kepatuhan.” Seorang pemimpin memang harus memiliki keistimewaan, cerdas, berakhlak mulia, dan bermental baja. Namun, itu semua tidak ada artinya tanpa adanya loyalitas dari rakyatnya.
Meskipun Islam mewajibkan umatnya agar taat kepada pemimpin, namun ketaatan itu tidak bersifat mutlak. Hilal (2005) mengemukakan pendapatnya bahwa: Ketaatan rakyat kepada pemimpin dibatasi oleh beberapa persyaratan, yaitu:
1. Pemimpin dimaksud memiliki komitmen kepada syari’at Islam dengan menerapkannya dalam kehidupan.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Wajib bagi imam (pemimpin) memerintah dengan aturan yang diturunkan Allah Swt. dan menyampaikan amanah. Apabila ia melaksanakan demikian, maka wajib bagi rakyat menaatinya.”
2. Pemimpin harus adil.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا(النساء:58(
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS An-Nisa`: 58)
Pemimpin dimaksud tidak menyuruh manusia melakukan maksiat. Islam menyuruh kita melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Maka ketika ada pemimpin mengajak dan membiarkan kemaksiatan merajalela, seperti minuman keras, zina, riba, korupsi, dan bentuk kejahatan lainnya, maka kita tidak boleh menaatinya. Sebaliknya, kita harus meluruskannya. Laa thaa’ata limakhuluuqin fii ma’shiyatil khaliq (tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang mengajak maksiat kepada Allah SWT).
Di masyarakat kita yang paternalistik ini, kadang masyarakat kurang bisa mengaktualisasikan ketaatan mereka kepada pemimpinnya. Sekelompok orang menindas, menganiaya, dan meneror kelompok lain atas perintah pemimpinnya. Harus ada gerakan yang mengingatkan pemimpin zalim seperti itu, dan menyadarkan pengikutnya agar tidak menaati kemaksiatan yang diperintahkan oleh pemimpinnya.
B. Persamaan dan Perbedaan kepemimpinan
1. Kepemimpinan Dalam Prespektif Islam
Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pemimpin yang terkenal dengan kearifannya, sifat beliau yang menonjol dalam kepemimpinannya, tidak saja di akui oleh orang-orang islam sendiri tapi juga diakui oleh orang-orang orientalis barat yang nota bene mereka adalah orang-orang yang menentang islam, hal ini memberi gambaran kepada kita bahwasannya kepemimpinan dalam islam bukan saja hasilnya hanya dirasakan oleh umat islam itu sendiri , akan tetapi dirasakan oleh umat non muslim, Kepemimpinan islam memberikan prospek yang cerah bagi kelangsungan hidup manusia di Era Globalisasi sekarang ini yang sarat dengan krisis kepemimpinannya dan dekadensi moral akibat ulah-ulah para penguasa yang tidak bertanggung jawab. Dan perlu difahami pula bahwasannya seseorang dikatakan sebagai pemimpin manakala ia benar-benar beriman dan bertaqwa kepa Allah swt, dan inilah yang membedakan antara kepemimpinan dalam islam dan kepemimpinan menurut teori orang-orang barat.
Seorang pemimpin dalam islam itu tidak boleh terlepas ciri-ciri berikut ini sebagai pedoman dalam memilih calon pemimpin masa depan:
1) Setia; Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat kesetiaan kepada Allah.
2) Tujuan; Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok tetapi juga dalam ruang lingkup tujuan Islam yang lebih luas.
3) Berpegang pada Syariat dan Akhlak Islam; Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang pada perintah syariat. Waktu mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham.
4) Pengemban Amanah; Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Qur’an memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap baik kepada pengikutnya.
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأُمُورِ(الحج:41(
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar… “(QS.22:41).
2. Pemimpin Dalam presfektif Orientalis Barat
Pada dasarnya prinsip kepemimpinan dalam presfektif barat hampir sama dengan kepemimpinan dalam presfektif islam, untuk mencapai suatu keberhasilan dalam merealisasikan visi dan misi suatu perkumpulan atau organisasi, akan tetapi sebagai mana di jelaskan diawal tadi, bahwasannya kepemimpinan dalam islam bukan saja hanya mengurus masalah duniawi semata akan tetapi berkenaanpula dengan masalah akhirat juga, atau lebih spesifik lagi berkenaan dengan tanggung jawabnya selaku pemimpin kepada Allah swt, dalam artian pemimpin dalam islam bukan saja bertanggung jawab ketika didunia tapi ia juga harus bertanggung jawab membawa umatnya kejalan yang benar yang diridhai oleh Allah swt, sehingga selamat nanti diakhirat kelak. Berbeda dengan kepemimpinan dalam prespektif barat, mereka meyatakan bahwasannya seorang pemimpin ialah orang yang mampu mengendalikan massa, dan mampu menguasai mereka, tanpa menghiraukan penderitaan anggotanya atau organisasi-organisasi lainnya, yang penting dia merasa senang, walaupun harus tertawa diatas penderitaan orang lain, seperti yang telah dilakukan oleh pemimpin-pemipin barat, diantaranya, adolf Hitler, naji, josh.w.bush, dan lain-lain.
Akibat menyerapnya teori-teori kepemimpinana yang dibawa oleh orang-orang barat, kedalam pemahaman orang-orang muslim, ini mengakibtkan terjadinya, ketimpangan dalam memahami, ajaran kepemimpinana islam, seperti contoh kasus, boleh tidaknya seorang wanita menjadi pemimpin, ini merupakan problem yang sangat fundamental, di dalam masyarakat kita sekarang, dan ini menjadi tugas kita, untuk kembali meluruskan, pemahaman tentang kepemimpinan menurut ajaran islam, yang berlandaskan AL-Quran dan sunnah.
C. Kepemimpinan Rasulullah
Sejak manusia berada dipermukaan bumi ini, hasratnya ingin mengetahui segala hukum dan kodrat alam yang terdapat disekitarnya, besar sekali. Makin dalam ia meneliti, makin tampak kepadanya kebesaran alam itu, melebihi yang semula. Kelemahan dirinya makin tampak pula dan keangkuhannya pun makin berkurang.
Demikianlah, Nabi yang membawa Islam itu pun sama pula dengan alam ini. Sejak bumi ini menerima cahaya Nabi, para ulama berusaha mencari segi-segi kemanusiaan yang besar daripadanya, mencari nilai-nilai Asma-Allah dalam pemikirannya, dalam akhlaknya, dalam ilmunya. Dan kalaupun mereka mapu mencapai pengetahuan itu seperlunya, namun sampai kini pengetahuan yang sempurna belum juga mereka capai. Perjuangan yang mereka hadapi masih panjang, jaraknya masih jauh, jalannya pun tak berkesudahan.
Kenabian adalah anugrah Tuhan, tak dapat dicapai dengan usaha. Akan tetapi ilmu dan kebijaksanaan Allah yang berlaku, diberikan kepada orang yang bersedia menerimanya, yang sanggup memikul segala bebannya. Allah lebih mengetahui dimana risalah-Nya itu akan ditempatkan. Muhammad SAW sudah dipersiapkan membawa risalah atau misi itu keseluruh dunia, bagi si hitam dan si putih, bagi si lemah dan si kuat. Ia disiapkan membawa risalah agama yang sempurna, dan dengannya menjadi penutup bagi para nabi dan rasul, yang hanya satu-satunya menjadi sinar petunjuk, sekalipun nanti langit akan terbelah, bintang-bintang akan runtuh dan bumi inipun akan berganti dengan bumi dan angkasa lain.
Kesucian para nabi dalam membawa risalah dan meneruskan amanah wahyu, adalah masalah yang tak dapat dimasuki oleh kaum cendekiawan. Bagi para nabi, sudah tidak ada pilihan lain. Mereka menerima risalah dan amanah, dan itu harus disampaikan, sesudah mereka diberi cap dengan stempel kenabian. Tugas menyampaikan amanah itu sudah menjadi konsekuensi wajar bagi seorang nabi, yang tak dapat dielakkan. Akan tetapi, tidak selamanya wahyu itu menyertai para nabi dalam tiap perbuatan dan kata-kata mereka. Mereka juga tidak bebas dari kesalahan. Bedanya dengan manusia biasa, Allah tidak membiarkan mereka hanyut dalam kesalahan itu sesudah sekali terjadi, dan kadang mereka segera mendapat teguran.
Muhammad SAW telah mendapat perintah Tuhan guna menyampaikan suatu amanah, dengan tidak dijelaskan jalan yang harus ditempuhnya, baik dalam cara menyampaikan risalah atau dalam cara mempertahankannya. Pelaksanaannya diserahkan kepadanya, menurut kemampuan akal, pengetahuan dan kecerdasannya, sebagaimana yang sering dilakukan oleh kaum cerdik pandai lainnya. Kemudian datang wahyu yang memberikan penjelasan secara tegas tentang segala sesuatu mengenai Dzat Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya serta cara-cara beribadat. Tetapi tidak demikian tata cara kemasyarakatan, dalam keluarga, tentang desa, kota, dan tentang Negara, baik yang berdiri sendiri maupun yang terikat oleh Negara-negara lain.
Disamping itu masih banyak sekali bidang lain yang harus diselidiki sehubungan dengan kebesaran Nabi SAW sebelum datangnya wahyu. Juga tidak kurang kebesaran itu yang harus diselidikinya sesudah datangnya wahyu. Ia menjadi utusan Tuhan dan mengajak orang kepadanya.. Ia menjadi pemimpin umat Islam, menjadi panglima perangnya; ia menjadi mufti, menjadi hakim dan organisator seluruh jaringan komunikasi dalam hubungan sesamanya dan antarbangsa. Dalam segala hal beliau dapat menegakkan keadilan. beliau mempersatukan bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok, sesuai dengan yang dapat diterima akal sehatnya. Ia menjadi lambang kefasihan, yang menyebabkan para ahli dalam bidang itu harus takluk dan menundukan kepala, mengakui kebesaran dan kedahsyatannya. Akhirnya beliau melepaskan dunia fana ini dengan rela hati atas pekerjaannya, yang juga sudah mendapat kerelaan Allah dan kaum Muslimin.
D. Kepemimpinan Setelah Rasulullah SAW
Para sahabat Nabi Muhammad SAW dan salafus shalih sudah lama tiada, namun keteladanan mereka di tulis oleh tinta emas sehingga menjadi teladan bagi kehidupan umat Islam generasi berikutnya. Kesalehan mereka sangat luar biasa, tak heran apabila diantara mereka ada yang sudah di jamin masuk surga, salah satunya yaitu Umar Bin Khatab, dia seorang pemimpin setelah Rasulullah yang adil dan bijaksana dalam memimpin umat. Beliau berasal dari kabilah Quraisy dan berasal dari suku Bani Hasyim.
Seperti kita ketahui hampir seluruh kriteria seorang pemimpin beliau miliki, karena di bawah kepemimpinannya umat hidup sejahtera dan tiada kurang suatu apapun. Dan dia tidak pernah marah apabila ada seorang rakyat yang mengoreksi apabila ia melakukan kesalahan, sebagai contoh ketika beliau diangkat menjadi khalifah setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq beliau berpidato dihadapan rakyatnya, dalam pidatonya beliau mengatakan :
“segala puji bagi Allah penguasa seluruh alam. Salam dan sejahtera semoga Allah limpahkan atas panutan agung Muhammad Saw. Pada kesempatan ini aku ingin menyampaikan amanah kepada kamu sekalian wahai kaum muslimin. Kalian semua ibarat unta yang bertali, untuk itu kalian akan menurut saja kemana orang yang memegang tali itu. Aku akan membawa kalian semua ke jalan yang benar yang diridhoi Allah Swt. Oleh karena itu apabila kalian melihat aku melakukan keslahan yang menyimpang dari perintah Allah dan Rasul-Nya, maka luruskanlah”, setelah berbicara tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan berkata, ”wahai umar, aku bersumpah akan meluruskan mu dengan pedangku ini jika engkau menyimpang”. Mendengar kata-kata itu seorang sahabat lainnya berkata, ”wahai sahabat janganlah engkau berkata kasar kepada khalifah.” kemudian umar berkata, ”terima kasih, aku sangat senang kepadamu rupanya diantara rakyat masih ada yang mempunyai keberanian, aku patut memberikan penghargaan padamu.”
Dari kutipan kisah diatas dapat kita simpulkan bahwa beliau memang seorang yang bijaksana, karena dia tidak melihat kedudukan seseorang dalam memberi nasihat.
Selain bijaksana beliaupun seorang yang sangat perhatian terhadap rakyatnya, itu dibuktikan dengan seringnya beliau mengadakan inspeksi mendadak untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Dalam salah satu inspeksinya beliau pernah mendapati seorang ibu dari sebuah keluarga, yang merebus batu seolah-olah dia kelihatan sedang menanak nasi, karena tidak punya makanan lagi yang bisa di makan. Hal itu dilakukan untuk menghentikan tangis anak-anaknya yang kelaparan. Saat itu juga khalifah Umar dengan sigap mengambil gandum dari baitu Mal untuk mencukupi kebutuhan keluarga itu. Gandum itu beliau panggul sendiri, walaupun pengawalnya melarang. Beliau berfikir bahwa kejadian ini akibat kelalaian beliau dalam mengurus umat. Oleh karena itu dia tidak mau apabila tanggung jawabnya dibebankan pada bawahannya, beliau takut bagaimana nanti beliau mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah Swt kelak pada hari perhitungan.
Disisi lain, dalam masa kepemimpinannya kekuasaan kaum muslimin semakin luas. Kekuatan politik dan militer umat muslim pada saat itu sangat berkembang pesat dan mampu melawan kekuatan-kekuatan kufur dan musyrik yang menghalangi meluasnya dakwah islam, pada masa itu pula wilayah-wilayah yang sebelumnya menolak dakwah islam akhirnya dapat ditaklukan dan menjadi bagian dari negara yang dipimpin oleh Umar. Negara-negara yang berhasil ditundukan itu diantaranya :
•Di negri Syam antara lain, Alyarmuk, Basra, Damaskus, Yordania, Bisan, Thobariyah, Aljabiyah, Palestina, Ramlah, Asqolan, Gaza, Tepi-tepi laut, Baitil maqdis.
•Di Afrika yaitu negri Mesir, Iskandariyah, Tripoli barat (Libia), Barqoh.
•Di Irak dan Persia, yaitu negri Alqadisiyah, Hirah, seluruh persia, Armenia, Almausil, delta sungai eufrat dan dajla, Khurasan, Albasrah, Nisabur, Azerbejan, Nahawind, Ashbahan, Hamadzan dan lain-lain.
Umar sendiri tidak pernah mempunyai rasa takut pada orang-orang yang berkuasa pada saat itu dan ia pun tak segan-segan untuk meluruskan mereka apabila mereka melakukan kesalahan.
Itulah sedikit mengenai salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga yaitu Umar Ibnu Khattab. Dan beliau merupakan salah satu pemimpin pada masa kepemimpinan khalifah yang berjalan sesuai dengan manhaj kenabian, periode ini merupakan periode khulafaur-rasyidun. Berlangsung lebih kurang 40 tahun, yaitu sejak diangkatnya Abu Bakar Asy-siddiq sebagai khalifah hingga wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib.
Pada akhirnya Umar menemui sang Khaliq pada usia 63 tahun sama seperti sahabat Abu Bakar dan Rasulullah. Beliau dibunuh ketika beliau akan sholat subuh di mihrab pada hari rabu, tepatnya tanggal 26 Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah, beliau ditikam oleh seorang majusi yang bernama Abu Lu’luah atau firaus yang berasal dari parsi (satu wilayah di Romawi). Tetapi dalam keadaan kritis setelah di tikam, ketika diingatkan waktu sholat beliau segera melaksanakannya. Setelah itu beliau bertanya pada kepada sahabatnya mengenai orang yang mencoba membunuhnya, dan sahabat pun menjawabnya bahwa orang yang mencoba membunuh umar yaitu Abu lu’luah Almajusi seorang pelayan Almughirah bin syu’bah, ketika mendengarnya Umar bahagia dan mengucap ”Alhamdulillah” karena dia berfikir bahwa yang menjadikan wafatnya ialah orang yang mengaku beriman tetapi ia tidak pernah bersujud pada Allah.
Setelah tiga hari setelah kejadian penikaman itu beliau baru meninggal, dan akhirnya Khalifah Umar berhasil memimpin umatnya selama 10 tahun 6 bulan 5 hari, dan beliau mempunyai anak sebanyak 13 orang, 9 laki-laki dan 4 orang perempuan.

;